my iklan

Powered By Blogger

Selasa, 02 Juni 2009

PEMBENTUKAN AKRILAMIDA
DALAM MAKANAN DAN ANALISISNYA
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No. 3, Desember 2006, 107 - 116
ISSN : 1693-9883
ABSTRACT
Acrylamide is a chemical substance which derived from acrylonitrile, is the
material used in polyacrylamide production. Recent research has found acrylamide
is contained in some food, especially food is rich in carbohydrate and treated in high
temperature (more than 120°C). Due to its nature, acrylamide is classified as a
hazardous material to be contained in human’s food. The International Agency for
Research on Cancer (IARC) has classified acrylamide into group 2A (probably carcinogenic
for humans). Many methods that used to analyse the acrylamide in some
foods with sophisticated equipment, and in department of pharmacy FMIPA-UI
there were also develop the method with simple extraction and conventional HPLC.
Keywords : acrylamide, HPLC, carcinogenic.
sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus
tiap tahun di Swedia, bentuk monomernya
bersifat racun terhadap sistem
saraf pusat, sedangkan bentuk
polimer diketahui tidak bersifat
toksik. Akrilamida digunakan secara
umum pada pembuatan poliakrilamida.
Poliakrilamida komersial
mengandung 0,05-5,0% akrilamida
(bergantung pada jumlah penggunaan
poliakrilamida tersebut) dan
sekitar 1 mg/kg residu monomer
akrilonitril. Keberadaan akrilamida
di dalam air minum memang sudah
terdeteksi. Namun, jarang ada penelitian
yang mengungkapkan bahayanya
di dalam makanan sehari-hari
(Anonim 1997; FDA 2004)

MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 108
Peneliti di Badan Pengawas
Makanan Nasional Swedia (Swedish
National Food Administration) dan
Stockhlom University, pada April 2002
melaporkan penemuan akrilamida
dalam berbagai makanan yang dipanggang
dalam tanur atau digoreng.
Dari penelitian tersebut, diketahui
bahwa pembentukan akrilamida
akibat pemanasan pada suhu tinggi
terdapat pada makanan dengan kandungan
karbohidrat tinggi seperti
keripik kentang, kentang goreng, pop
corn, sereal, dan biskuit (FDA 2004;
Anonim 2006).
Makanan seperti daging sapi
dan ayam, yang mengandung protein
juga menghasilkan akrilamida dalam
konsentrasi yang lebih kecil. Reaksi
serupa tidak ditemukan pada makanan
yang diproses dengan suhu
rendah misalnya direbus. Akrilamida
tidak ditemukan pada makanan
dengan pemanasan pada suhu di
bawah 120oC (Anonim 2002).
Ketika dilakukan penelitian terhadap
hewan, akrilamida terbukti
menyebabkan kanker. Namun,
belum ada bukti yang menunjukkan
hal itu juga berlaku pada manusia.
Gangguan kesehatan yang disebabkan
akrilamida terjadi karena dampak
genotoksik dan karsinogeniknya.
Akrilamida dianggap sebagai zat
yang dicurigai sebagai karsinogen,
pada dasarnya belum dapat diperkirakan
dengan tepat sampai sejauh
mana pengaruh akrilamida dalam
menyebabkan penyakit kanker pada
manusia. Hingga sekarang belum ada
himbauan yang dikeluarkan Food and
Drug Administration (FDA) untuk
melarang masyarakat mengkonsumsi
makanan-makanan tersebut (Anonim
2006; Friedman 2003).
Akrilamida sudah pasti bersifat
genotoksik dan karsinogenik pada
hewan. International Agency for Research
on Cancer (IARC), U.S. Environmental
Protection Agency (EPA), Food
and Drug Administration (FDA), serta
The National Toxicology Program telah
mengklasifikasikan akrilamida sebagai
senyawa yang mungkin menyebabkan
kanker atau berpotensi
sebagai karsinogenik pada manusia
(grup 2A). Berdasarkan studi hewan
coba, akrilamida diketahui berpotensi
menyebabkan kerusakan sel-sel
saraf dan gangguan reproduksi pada
hewan coba serta pemberian akrilamida
dalam jangka panjang dapat
menyebabkan tumor. Namun demikian,
belum ada fakta yang teruji
untuk membuktikan bahwa akrilamida
dalam makanan berpotensi
menyebabkan kanker pada manusia,
karena pemberian makanan yang
mengandung akrilamida dengan
dosis tinggi pada hewan coba tidak
dapat diekstrapolasikan pada manusia
secara langsung (Anonim 1985;
FDA 2004; Kendall P 2005; Hartman
Holly 2005).
1. Karakteristik (Anonim 1985;
FDA 2004; Anonim 1976)
Akrilamida merupakan senyawa
kimia berwarna putih, tidak berbau,
berbentuk kristal padat yang sangat
mudah larut dalam air dan mudah
bereaksi melalui reaksi amida atau
REVIEW ARTIKEL
109 Vol. III, No.3, Desember 2006
ikatan rangkapnya. Monomernya
cepat berpolimerisasi pada titik
leburnya atau di bawah sinar ultraviolet.
Akrilamida dalam larutan
bersifat stabil pada suhu kamar dan
tidak berpolimerisasi secara spontan.
Struktur kimia :
Rumus molekul : C3H5NO
Sinonim : 2-Propenamida, etilen
karboksi amida, akrilik amida, asam
propeonik amida, vinil amida
Bobot molekul : 71,08
Kelarutan dalam g/100 ml
pelarut pada suhu 30oC : air 215,5;
aseton 63,1; benzen 0,346; etanol 66,2;
kloroform 2,66; metanol 15,5; nheptan
0,0068.
Titik lebur : 84,5oC; titik didih:
87oC (2 mmHg), 105oC (5mmHg),
125oC (25 mmHg); tekanan penguapan:
0,009 kPa (25oC); 0,004 kPa
(40oC); dan 0,09 kPa (50oC).
Pada umumnya, akrilamida yang
terdapat di alam adalah buatan
manusia, berasal dari residu monomer
yang dilepaskan dari poliakrilamida
untuk perawatan air minum
karena tidak seluruh akrilamida
terkoagulasi dan tetap berada di air
sebagai pencemar.
Akrilamida terdistribusi dengan
baik dalam air karena kelarutannya
yang tinggi dalam air. Akrilamida
dapat menetap hingga berhari-hari,
berminggu-minggu, bahkan berbulan-
bulan di daerah sungai atau
pesisir pantai dengan aktivitas mikroba
yang rendah. Kecil kemungkinannya
terakumulasi pada ikan.
2. Sifat farmakokinetika
akrilamida (Anonim 1985;
FDA 2004; Anonim 2002; Friedman
2003)
Absorbsi dari akrilamida melalui
saluran pernafasan, saluran cerna,
dan kulit. Pada pendistribusiannya,
akrilamida terdapat dalam kompartemen
sistem tubuh dan dapat menembus
selaput plasenta. Pada urin
tikus, telah ditemukan metabolit,
seperti asam merkapturat dan
sistein-s-propionamida. Glisidamida,
merupakan metabolit utama dari
akrilamida, yaitu epoksida yang
lebih dicurigai dapat menyebabkan
penyakit kanker dan bersifat genotoksik
pada hewan coba daripada
akrilamida. Akrilamida dan metabolitnya
terakumulasi dalam sistem
saraf dan darah. Akrilamida dicurigai
lebih bersifat neurotoksik
dibandingkan dengan glisidamida.
Pada ginjal, hati dan sistem reproduksi
pria juga terjadi akumulasi.
Berdasarkan percobaan pada
hewan, akrilamida diekskresikan
dalam jumlah besar melalui urin dan
empedu sebagai metabolitnya. Diketahui
terdapat akrilamida dalam
air susu tikus yang sedang menyusui.
Data-data farmakokinetika akrilamida
pada manusia masih sedikit,
namun antara manusia dan hewan
O
H2C CH C NH2
Gambar 1. Struktur kimia akrilamida
REVIEW ARTIKEL
MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 110
mamalia belum terdapat data yang
dengan pasti menunjukkan perbedaan
dari keduanya.
3. Efek pada manusia dan hewan
(Anonim 1994; 1985; 2002; 2002)
Akrilamida bersifat iritan dan
toksik. Efek lokal berupa iritasi pada
kulit, dan membran mukosa. Iritasi
lokal pada kulit ditunjukkan dengan
melepuhnya kulit disertai dengan
warna kebiruan pada tangan dan
kaki, efek sistemik berhubungan
dengan paralisis susunan saraf pusat,
tepi, dan otonom sehingga dapat
terjadi kelelahan, pusing, mengantuk,
dan kesulitan dalam mengingat.
Berdasarkan uji klinis, ditunjukkan
bahwa paparan akut dosis tinggi
akrilamida memicu tanda-tanda dan
gejala gangguan saraf pusat, sedangkan
paparan akrilamida dalam jangka
waktu yang lama dengan dosis yang
lebih kecil dapat memicu gangguan
pada sistem saraf tepi. Setelah paparan
terhadap akrilamida dihentikan,
gangguan-gangguan tersebut
dapat berkurang, tetapi dapat bertahan
hingga berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.
Akrilamida meningkatkan kemungkinan
terjadinya tumor paruparu
pada tikus. Akrilamida dapat
meningkatkan timbulnya tumor
kelenjar payudara pada tikus betina.
Pada tikus jantan dapat memicu
degenerasi tubulus seminiferus dan
aberasi kromosom spermatosit serta
menurunkan kadar testoteron dan
prolaktin. Namum, uji fertilitas
belum dilaporkan. Dengan pemberian
secara oral, topikal, dan intraperitonial
akrilamida dapat memicu
kanker kulit. Akrilamida, dimasukkan
dalam kategori grup 2A yaitu
senyawa yang hampir dipastikan
menyebabkan kanker pada manusia
(karsinogenik). Hal tersebut dikarenakan
jumlah peserta yang
diikutsertakan dalam penelitian
masih belum memadai untuk suatu
uji epidemiologik. Berdasarkan data
yang ada, belum ada data epidemiologik
yang menunjukkan bahwa
paparan akrilamida dapat menyebabkan
kanker.
FAO dan WHO memberikan
arahan sementara untuk mencegah
kemungkinan terjadinya risiko akibat
akrilamida, meskipun informasi
tentang akrilamida dan dampaknya
dalam makanan belum lengkap,
diantaranya :
a. Pola makan yang seimbang dan
bervariasi, seperti sayur-mayur
dan buah-buahan, dan menghindari
atau mengurangi makanan
yang diduga mengandung
akrilamida.
b. Makanan tidak dimasak dengan
suhu yang terlalu tinggi, hanya
dengan suhu yang cukup untuk
menghancurkan mikroorganisme
patogen.
4. Terjadinya Adduct
Akrilamida memiliki suatu sistem
jenuh elektrofil yang dapat
bereaksi dengan pusat nukleofil.
Gugus protein dan asam amino
menjadi target reaksi utama karena
mempunyai pusat nukleofil. Pengi-
REVIEW ARTIKEL
111 Vol. III, No.3, Desember 2006
katan akrilamida dengan protein
pada hemoglobin, menjadi penyebab
aksi toksisitas pada jaringan tersebut.
5. Pembentukan Akrilamida
dalam Makanan
Asparagin yaitu asam amino
utama mempunyai struktur mirip
dengan akrilamida, dan diduga
senyawa tersebut yang paling berperan
dalam pembentukan akrilamida.
Hasil penelitian yang sama
juga ditemukan oleh pemerintah
Kanada dan pabrik Procter and
Gamble Co. Keduanya sama-sama
mencurigai adanya hubungan antara
asparagin dengan pencetus kanker
(Friedman 2003).
World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa pada populasi
umum, rata-rata asupan akrilamida
melalui makanan berada pada rentang
0,3–0,8 µg/kg BB/hari. Environmental
Protection Agency (EPA) pada
tahun 1992 dan WHO pada tahun
1985 telah membatasi kadar akrilamida
dalam air minum sebesar
0,5 µg/liter (ppb). Office of Environmental
Health Hazard Assesment
(OEAHHA), salah satu divisi EPA
yang berlokasi di California, Amerika
Serikat telah menetapkan bahwa
0,2 µg/hari akrilamida tidak bersifat
sebagai agen pencetus kanker. Peneliti
Swedia mendapatkan bahwa
terdapat konsentrasi akrilamida yang
sangat besar pada makanan yang
digoreng (keripik kentang, median
1200 µg/kg; kentang goreng, 450 µg/
kg), dan makanan yang dipanggang
(sereal dan roti, 100-200 µg/kg)
(Anonim 1985; FDA 2004).
Tabel 1.
Kadar akrilamida dalam beberapa produk makanan dari negara Swedia,
Switzerland serta Amerika berdasarkan
data Food Safety Programme World Health Organization 2002
Produk Makanan
Level Akrilamida (µg/kg)
Rata-rata Nilai tengah Minimum- Jumlah
maksimum sampel
Keripik kentang 1312 1343 170-2287 38
Produk roti 112 <50 <50-450 19
Cracker 423 142 <30-3200 58
Sereal 298 150 <30-1346 29
Keripik jagung 218 167 34-416 7
Bubuk coklat 75 75 <50-100 2
Bubuk kopi 200 200 170-230 3
REVIEW ARTIKEL
MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 112
Akrilamida ditemukan pada
beberapa makanan tertentu yang
dalam proses dan pembuatannya
menggunakan suhu tinggi, dengan
meningkatnya pemanasan dan bertambahnya
waktu, dapat meningkatkan
kadar akrilamida. Akrilamida
tidak terbentuk pada suhu di bawah
120oC. Mekanisme terbentuknya
belum dapat diketahui dengan pasti,
diperkirakan meliputi reaksi dari
berbagai macam kandungan dalam
makanan, seperti karbohidrat, lemak,
protein dan asam amino, serta berbagai
macam komponen lainnya
dalam jumlah yang kecil. Mekanisme
pembentukan akrilamida yang
mungkin dan telah dikemukakan
oleh peneliti antara lain:
1. Terbentuk dari akrolein atau
asam akrilat hasil degradasi
karbohidrat, lemak, atau asam
amino bebas, seperti alanin,
asparagin, glutamin, dan metionin
yang memiliki stuktur mirip
dengan akrilamida.
2. Terbentuk langsung dari asam
amino.
3. Terbentuk dari dehidrasi atau
dekarboksilasi beberapa asam
organik tertentu seperti asam
laktat, asam malat, dan asam
sitrat.
Studi sistematik tentang pembentukan
akrilamida belum dapat
dipastikan, kemungkinan terbesar
melalui reaksi campuran. Studi juga
dipersulit dengan sifat dari akrilamida
yang mudah menguap dan
mudah bereaksi sehingga dapat
hilang setelah terbentuk. Akrilamida
dianggap reaksi samping dari reaksi
Maillard, yakni reaksi yang berlangsung
antara asam amino dengan gula
pereduksi (glukosa, fruktosa, ribosa,
dan lain-lain) atau sumber karbonil
lainnya. Asparagin, merupakan asam
amino dalam makanan yang bereaksi
dengan gula pada suhu tinggi (Anonim
2002; Kendall P 2005).
6. Metode Analisis Akrilamida
dalam Berbagai Makanan
Terdapat beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
dan menganalisis akrilamida
dalam sediaan, diantaranya dengan
menggunakan kromatografi gasspektrometri
massa dan kromatografi
cair-spektrometri massa.
Beberapa peneliti telah melakukannya
antara lain:
i. Metode yang sensitif telah dikembangkan
dan divalidasi
untuk analisis dalam produk
sereal. Menggunakan GC/MS/
MS dengan sinyal gangguan
antara 70 -100 dapat dilakukan
terhadap sampel. Untuk identifikasi
digunakan sumber ion
m/z 149 [C3H4
79BrNO]+ dan
m/z 151 [C3H4
81BrNO]+ dari
spektrum massa El; dengan i.e.
m/z 152/154 sebagai internal
standar. Pada kondisi ini menghasilkan
batas kuantitasi untuk
larutan standar akrilamida sebesar
0,01 ng/ml (Hamlet CG et
al. 2004).
REVIEW ARTIKEL
113 Vol. III, No.3, Desember 2006
ii. Kromatografi gas-spektrometri
massa (GC-MS), dengan baku
dalam akrilamida, 8000 gas chromatograph
dengan injektor on-column
(ThermoQuest, Milan, Italia)
dan spektrometer massa
SSQ7000 quadrupole (Finnigan,
San Jose, Amerika Serikat). 1 µL
sampel disuntikkan ke dalam
kolom berukuran 10 m x 0,25 mm
dan pemisahan kolom dengan
0,4 µm pelat Carbowax 20M.
Batas deteksi yang dihasilkan
< 20 µg/kg. Kini dilengkapi
dengan kolom deaktivasi berukuran
40 cm x 0,53 mm dengan
Carbowax 20M (yang dapat meningkatkan
sampel hingga 5 µl
bila diperlukan). Gas pembawa
helium dengan tekanan 40 kPa;
suhu oven diatur pada 15o/menit
dari 70oC (1 menit) hingga 220oC
(2 menit). Spektrometri massa
menggunakan pengionisasi kimia
ion positif (Cl) dengan metana
sebagai gas pembawa. Sumber
ion pada 100oC, spektrum massanya
adalah m/z 72 (akrilamida),
86 (metakrilamida) dan 88
(butiramida) (Biedermann M
2006).
iii. Kromatografi gas-spektrometri
massa (GC-MS), Mega 5300 gas
chromatograph dengan on-column
dan sebuah injektor split/splitless
(Fisons, Milan, Italia) dan sebuah
spektrometer massa ITD 400
(Finnigan, San Jose, Amerika
Serikat). Sebanyak 1-2 µl sampel
disuntikkan ke dalam kolom
berukuran 100 cm x 0,32 mm (ID)
dengan 0,25 µm pelt FFAP (BGB
Analytik). Gas pembawa helium
dengan tekanan 75kPa. Suhu
oven diatur pada10oC/menit
dari 110oC hingga 230oC dan
25oC/menit hingga 250oC (1
menit). Spektrometri massa
menggunakan pengionisasi ion
elektron positif (El). Sumber ion
pada 200oC (Biedermann M
2006).
iv. Kromatografi cair kinerja tinggispektrometri
massa tandem
(HPLC/MS/MS), dengan kolom
Agilent 1100 sistem LiChrosphere
® CN (250 x 4 mm, 5mm),
Merck, Darmstadt. Fase gerak A:
asam asetat 1%, fase gerak B:
asetonitril, suhu oven: 25oC. Laju
alir 700 µl/ menit. Baku dalam
d3-akrilamida (AA-d3) (Anonim
2004).
v. Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT) dengan detektor
UV (DX-600 dan PDA-100,
Dionex), fase gerak 3,5 mmol/liter
asam formiat dalam airasetonitril
(93% - 7% v/v). Kolom
Dionex ICE-AS-1 (9 mm x 25 cm),
laju alir 1 ml/menit dan deteksi
UV pada 202 nm. Volume sampel
25 atau 50 ml disuntikkan ke
dalam kolom. Dengan kondisi
ini, akrilamida terelusi selama 23
menit (Anonim 2006).
vi. Penetapan kadar akrilamida
menggunakan pelarut ekstraksi
dipercepat yang dilanjutkan
REVIEW ARTIKEL
MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 114
dengan kromatografi ion dengan
detektor UV atau MS. Metode
yang digunakan berlangsung
cepat dengan menggunakan
metode ekstraksi accelerated solvent
extraction (ASE) ASE 100
atau ASE 200 (Dionex, Sunnyvale,
California, Amerika Serikat)
dengan 34 ml sel untuk ASE
100, dan 33 ml untuk ASE 200.
Sampel diekstraksi selama 20
menit menggunakan air atau air
dengan tambahan asam formiat
10 mM. Ekstrak segera dianalisis
dengan menggunakan kromatografi
ion (IC) dan menggunakan
kolom ekslusi ion 4 mm dan
dua detektor UV dan MS. Kondisi
kromatografi adalah dengan
kolom IonPac® ICE-AS1 4 x 250
mm; 7,5 µm. Fase gerak yang
digunakan asam formiat 3,0 mM
dalm asetonitril/air 30/70 (v/v),
laju alir 0,15 ml/menit, volume
injeksi 25 µl, deteksi UV pada
panjang gelombang 202 nm,
deteksi nm, deteksi MS pada 50-
250 m/z; menghasilkan batas
deteksi sekitar 50 µg/kg (Silvano
C, 2006).
Telah dilakukan beberapa penelitian
untuk menghasilkan metode
yang efektif dan efisien di Departemen
Farmasi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia dengan Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi. Metode ini
menggunakan kolom C18-RP dengan
detektor UV-Vis pada panjang gelombang
210 nm, fase gerak 3,5 mM asam
fosfat 85% dalam asetonitril-air
dengan perbandingan 5:95, laju alir
0,5 ml/menit dan fase gerak tersebut
digunakan sebagai pelarut (Simanjuntak
B 2004; Dianpratami K 2005;
Teuku Nebrisa Z 2005).
Penetapan kadar akrilamida
Gambar 2. Kromatogram akrilamida 0,8 µg/ml pada panjang gelombang 210 nm
dengan fase gerak 3,5 mM asam fosfat 85% dalam asetonitril-air (5:95);
laju alir 0,5 ml/ menit dan fase gerak sebagai pelarut.
REVIEW ARTIKEL
115 Vol. III, No.3, Desember 2006
dalam makanan yang telah dilakukan
di Departemen Farmasi FMIPA-UI
(dalam kripik kentang, french fries,
sereal, popcorn, biskuit) sebagian
besar dari sampel mengandung akrilamida
dalam jumlah yang signifikan
walaupun masih di bawah ambang
batas yang ditentukan FDA. Prosedur
penentuan secara garis besarnya
adalah sebagai berikut:
Ditimbang Sampel X kemudian
dilarutkan dalam 60 ml
diklormetan, tambahkan 3 ml
etanol kocok dengan Laboratory
Shaker pada kecepatan 250 RPM
selama 60 menit. Larutan sampel
dicuci dan disaring dengan
diklormetan sebanyak 2 x 5 ml,
kemudian pada filtrat ditambahkan
25 ml fase gerak yang
digunakan. Diklormetan dan
etanol diuapkan di atas penangas
air pada suhu 80oC. Kemudian
dimasukkan ke dalam tabung
sentrifus, sentrifugasi dengan
kecepatan 10000 RPM selama 15
menit, fase gerak diambil lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur
25,0 ml; tambahkan fase gerak
yang digunakan dan dicukupkan
sampai batas. Larutan sampel
disaring dengan penyaring sampel
Whatman. Sampel disuntikkan
sebanyak 20 µl ke dalam
kolom kemudian dicatat luas
puncaknya. Percobaan diulangi
sebanyak tiga kali. Kadar dihitung
dengan menggunakan
persamaan kurva.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. International Agency
for Research on Cancer (IARC) –
Summaries & Evaluations (Acrylamide).
http://www.inchem.
org/ documents/iarc/vol60/
m60-11.html, 3 Januari 2006,
pukul 14.09.
Anonim. 1997. Acrylamide (Group
2A). http://www.cie.iarc.fr/
htdocs/ monographs/vol60/
m60-11.htm, 3 Januari 2006,
pukul 14.21.
Anonim. 2004. Detection of Acrylamide
In Starch-enriched Food With
HPLC/MS/MS. http://appliedbiosystems.
com/, 11 Januari
2006, pukul 10.24.
Anonim. Acrylamide in Foods. http://
www.fda.gov/fdac/features/
2003/ 103_food.html, 11 Januari
2006, pukul 11.23.
Anonim. Determinan of Acrylamide in
Food using ASE with HPLC-UV an
LC-MS. http://www. dionex.
c o m / s e r v l e t w l 1 / F i l e
Downloader/slot114/ 282270/
Acrylamid% 20method%20
English.pdf, 11 Januari 2006,
pukul 10.19.
Anonim. Environmental Health Criteria
for Acrylamide. Geneva: World
Health Organization, 1985: 8-42.
Anonim. Health Implications of Acrylamide
in Food: Report of a Joint
FAO/WHO Consultation. Geneva,
Swiss: World Health Organization
(WHO), 2002: 39 hlm.
REVIEW ARTIKEL
MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 116
Anonim. Health implications of acrylamide
in food:report of joint FAO/
WHO consultation. Genewa:
World Health Organization,
June 2002.
Anonim. The Merck Index 9th Edition.
Rahway NJ: Merck & Co. Inc.,
1976.
Biedermann M. Two GC-MS Methods
for Analysis of Acrylamide
in Foodstuffs. 12 hlm. http://
www.klzh.ch/downloads/
acrylamid 1.pdf, 11 januari 2006,
pukul 10.15.
Dianpratami K. Analisis Akrilamid
Dalam Beberapa Sediaan Keripik
Kentang yang Beredar di Pasaran
Secara Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Depok : Skripsi Sarjana
Farmasi Ekstensi FMIPA-UI,
2005.
Friedman, M. Chemistry, Biochemistry,
and Safety of Acrylamide.
A Review. 2003. J. Agric. Food.
Chem 51, 4504-4526.
Hamlet CG, Jayaratne SM, Sadd PA.
Rapid, Sensitive and Selective
Analysis of Acrylamide in Cereal
Products Using Bromination and
GC/MS/MS. . 2004. J. Agric. Food.
Chem 22, 290-293.
Hartman Holly, Popcorn History, science
and good snacky fun, http://
www.popcorn.org/int/fsf/popcorn
report.pdf,25 Juni 2005
pukul 16.00.
Kendall P. Popcorn An All American
snack, http:// www.popcorn.
org/int/fsf/popcorn report.pdf,
25 Juni 2005 pukul 16.00.
Silvano C. Fast Determination of
Acrylamide in Food Samples
Using Accelerated Solvent Extraction
Followed by Ion Chromatography
with UV or MS Detection.
http://www.lcgceurope.
com/lcgceurope/ article/article
Detail.jsp?id=53696, 11 Januari
2006, pukul 10.19.
Simanjuntak B. Optimasi Penetapan
Kadar Akrilamid yang Ditambahkan
ke dalam Keripik Kentang Simulasi
Secara Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi. Depok: Skripsi Sarjana
Farmasi FMIPA-UI, 2004.
Teuku Nebrisa Z. Analisis Akrilamid
dalam Kentang goreng Secara
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Depok: Skripsi Sarjana Farmasi
FMIPA-UI, 2005.
U.S. Food and Drug Administration
(FDA, 2004) Acrylamide Questions
& Answers. Center for
Food Safety and Applied Nutrition
2003. http://www.cfsan.
fda.gov/~dms/acrydata.html.
11 Januari 2006, pukul 10.35.
U.S. Food and Drug Administration
(FDA, 2004). Explatory Data on
Acrylamide in Food. U.S. FDA,
CFSAN/Office of Plant & Dairy
Foods, March 2004. http://
www.cfsan.fda.gov/~dms/
acrydata.html, 11 Januari 2002,
pukul 11.03.

Tidak ada komentar:

Pengikut

Daftar Blog Saya